LEGENDA
LEGENDA : USANG SUNGGING DAN PUTRI PINANG MASAK
Masjid Tertua di Sumsel Masjid Al-Falah Kelurahan Tanjung Batu Kab Ogan Ilir, dibangun oleh KH Abdul Hamid alias Usang Singging pada abad ke-13 Masehi |
Layaknya
daerah lain, daerah-daerah di dataran sumatera, khususnya di bagian
selatan sarat dengan cerita rakyat. Cerita rakyat atau dikenal juga
dengan istilah legenda rakyat bisa dihubungkan dengan terbentuknya suatu
tempat atau bisa juga asal usul dari penduduk, adat istiadat atau
budaya yang hingga sekarang diterapkan dan menjadi panutan masyarakat
setempat. Begitu juga dengan desa kelahiran saya, Tanjung Batu, memiliki
beberapa cerita rakyat. Cerita yang sangat terkenal adalah cerita
mengenai Usang Sang Sungging dan Puteri Senuro yang karena kecantikan
rupanya kemudian lebih dikenal dengan Puteri Pinang Masak. Konon
kabarnya dua tokoh ini sangat erat kaitannya dengan cikal bakal bidang
usaha dan mata pencaharian yang ditekuni oleh penduduk lokal.
Siapa sebenarnya Usang Sang
Sungging (atau oleh penduduk lokal lebih dikenal dengan sebutan Sang
Sungging). Terbetiklah sebuah kisah, di Kesultanan Palembang,
mengabdilah seorang pati bernama Abdul Hamid. Beliau berasal dari
keturunan kerajaan dari Pulau Jawa dan menetap di Kesultanan Palembang.
Beliau terkenal dengan beberapa keahliannya seperti rancang bangun,
melukis, mengukir/memahat bahkan menyiapkan rencana-rencana yang akan
dilakukan oleh Istana. Beliau sangat dekat dan sudah dipercaya layaknya
anggota keluarga oleh Sultan.
Syahdan, pada suatu masa beliau
mendapat mandat dari Sultan untuk membuat lukisan utuh permaisurinya.
Mendapat tugas tersebut, Abdul Hamid menyanggupi dengan senang hati.
Siang dan malam dia melukis permaisuri demi Sultan. Mendekati tahap
akhir pengerjaan lukisan tersebut Sultan mendatangi Abdul Hamid dengan
maksud ingin melihat hasil lukisan yang dibuat olehnya. Sultan kelihatan
senang dan menunjukkan binar muka yang puas atas lukisan yang
dikerjakannya.
Pada malam berikutnya, Abdul
Hamid melanjutkan pekerjaannya melukis permaisuri dengan sangat
hati-hati. Dan…selesai sudah, gumannya tersenyum gembira setelah
menyelesaikan lukisan tersebut. Sambil menatap hasil pekerjaannya, ia
membayangkan wajah kegembiraan Sultan. Lama dia berdiam sampai dia
tertidur sekejap. dan tanpa disadarinya tinta yang digunakannya menetes
ke lukisan yang sudah jadi tersebut.
Keesokan harinya dengan perasaan
bangga, Abdul Hamid menghadap Sultan dan menyerahkan lukisan yang
dibuatnya. Alangkah terkejutnya dia, bukannya pujian yang diterima
tetapi malah caci maki. Melihat lukisan tersebut, Sultan murka dan marah
tanpa bisa terbendungkan. Sultan menghardik Abdul Hamid dengan
pertanyaan yang penuh kecurigaan, dari mana Abdul Hamid tahu kalau di
paha kiri atas (dekat kemaluan) istrinya terdapat tahi lalat sebagaimana
hasil lukisan tersebut. Mendapat hardikan pertanyaan tersebut Abdul
Hamid justru bingung bukan kepalang. Usut punya usut ternyata hasil
tetesan tinta yang tanpa disengaja dan disadari oleh Abdul Hamid waktu
dia mengantuk malam itu jatuh tepat di paha sebelah kiri atas dari
lukisan permaisuri, sehingga menyebabkan Sultan menuduh jika Abdul Hamid
telah berselingkuh dengan istrinya.
Mendapat tuduhan seperti itu,
Abdul Hamid berusaha menjelaskan hal yang sebenarnya. Akan tetapi,
kemarahan Sultan sudah tidak bisa dielakkan lagi. Abdul Hamid pun
diminta meninggalkan istana bahkan diancam akan dihukum gantung.
Mendapati situasi yang tidak menguntungkan seperti itu, Abdul Hamid
beserta hulu balangnya bergegas melarikan diri dengan menggunakan
perahu. Tanpa arah tujuan yang jelas mereka terus menyusuri sungai
menuju pedalaman demi menghindari kejaran tentara Sultan.

Makam KH Abdul Hamid alias Usang Sungging di Desa Tanjung Baru Petai Tanjung Batu Kab Ogan Ilir
Berbulan-bulan
mereka mengayuh perahu. Dari Sungai Ogan menyusuri sebuah lebak yang
kemudian dikenal dengan nama Lebak Meranjat. Merapatlah mereka di sebuah
hutan belantara seberang Tanjung Batu yang akhirnya menetap, berdiam
diri, bergaul di daerah tersebut sembari mengajarkan keahliannya dalam
hal bertukang, memahat, membuat perhiasan, hingga menyebarkan ajaran
agama Islam serta turut serta merancang puncak Masjid Al-Falah Tanjung
Batu yang sekarang masih kokoh berdiri di Kampung Tiga Tanjung Batu (Mmm…
saya jadi teringat, ketika sekitar awal tahun 1991 bersama seorang
teman diminta untuk mendisain ulang tulisan kaligrafi di pintu masuk
sisi kiri dari Masjid tersebut. Masjid ini memang sudah cukup tua, tapi
masih berdiri kokoh. Jika tidak salah ingat, masjid ini didirikan
sekitar abad ke-13)
Karena keahlian dan
kepandaiannya, kian hari keberadaan Abdul Hamid dan pengikutnya semakin
mendapat tempat dihati penduduk. Karena berbagai keahliannya ini
terutama sekali keahliannya sebagai tukang kayu dan tukang pahat, maka
oleh penduduk setempat beliau diberi gelar Usang Sang Sungging (Sang
Sungging).
Selang beberapa waktu beliau
tinggal di seberang Tanjung Batu, terdengarlah olehnya bahwa ada seorang
puteri cantik yang tinggal di hulu sungai dan menetap di sebuah dusun
bernama Senuro. Mendengar kabar ini, Sang Sungging lalu mengirim utusan
untuk mengadakan silaturahmi dengan Puteri tersebut. Sepulangnya dari
tempat Sang Puteri, para utusannya membawa kabar baik bahwa maksud dan
tujuan mereka diterima dengan baik dan tangan terbuka oleh Puteri.
Utusannya juga bercerita bahwa Sang Puteri senang mengajarkan kepada
penduduk setempat bagaimana cara mengerjakan kerajinan menganyam,
membuat bakul dari kulit bambu dan membuat kerajinan lainnya.
Mendengar berita tersebut, Sang
Sungging pun tidak dapat menyembunyikan kegembiraannya dan memutuskan
untuk segera bertemu Sang Puteri. Setelah kedua insan tersebut berjumpa,
diketahuilah bahwa Puteri tersebut bernama Nafisah. Konon karena
kecantikan rupanya dan kulitnya agak kemerah-merahan seperti buah Pinang
Masak, maka oleh penduduk setempat ia dijuluki Puteri Pinang Masak.
Lalu siapa dan darimanakah asal usul Puteri Senuro atau Puteri Pinang
Masak?
Dari sejarahnya, Puteri Nafisah
atau Puteri Senuro berasal dari daerah Banten, Jawa Barat dan sebelum
sampai ke Desa Senuro bermukim di Empat Ulu Laut tepian Sungai Musi.
Berita bermukimnya seorang puteri di ulu laut Palembang yang
kecantikannya tiada tara serta tandingannya di seluruh kerajaan
Palembang tersebar luas dikalangan anak pembesar kerajaan, serta menjadi
pembicaraan hangat para pemuda di seluruh negeri, sehingga banyak yang
berlomba ingin mendapatkannya. Berita ini didengar juga oleh Sultan
Palembang sehingga timbullah hasrat Sultan untuk membuktikan kebenaran
dari cerita tersebut dan melihat dari dekat kecantikan Sang Puteri. Jika
memang benar, muncul hasratnya untuk menjadikan Sang Puteri sebagai
gundik, penambah gundik yang telah ada di istana.
Sultan langsung mengutus beberapa
pengawal istana untuk menjemput puteri dan membawanya ke istana.
Sebelum para pengawal datang, puteri rupanya sudah lebih dulu
mengetahuinya. Puteri sangat bersedih hati, berusaha dan berikhtiar
bagaimana caranya menghindari hal tersebut. Bahkan akhirnya Puteri
bersumpah lebih baik mati daripada menjadi gundik Sultan. Namun puteri
juga sadar bahwa untuk menghindari kekuasaan Sultan dan para pengawalnya
adalah suatu upaya yang tidak mungkin.
Puteri dan keluarganya lalu
mencari cara bagaimana mengelabui para pengawal istana yang hendak
menjemputnya. Akhirnya munculnya tipu muslihat untuk mengelabui mereka.
Sebelum para pengawal istana tiba, Puteri merebus jantung pisang.
Setelah dingin, air rebusan jantung pisang itu lalu dibuat mandi oleh
Puteri, akibatnya badan Puteri menjadi hitam pekat, kotor dan kelihatan
menjijikankan dan kemolekannya menjadi hilang.

Kubah di masjid Al-Falah asli buatan tangan Usang Sungging di atas masjid
Ketika
para Pengawal Sultan sampai dirumah Puteri Nafisah, mereka sangat
terkejut dengan pemandangan ditemui. Mereka menjadi ragu apakah benar
orang yang berdiri dihadapan mereka adalah Puteri Nafisah yang
kecantikannya menggemparkan seluruh negeri itu. Timbul keragu-raguan di
hati mereka untuk membawa Puteri, namun karena ini adalah perintah
Sultan dan tidak boleh dilanggar, maka akhirnya mereka membawa juga
Puteri Nafisah ke istana untuk dipersembahkan kehadapan Sultan.
Sesampai di istana mereka
langsung menghadap Sultan berikut Sang Puteri. Begitu melihat sosok yang
berdiri dihadapannya, Sultan bertanya kepada para pengawalnya, apakah
benar yang mereka bawa ini adalah Puteri Nafisah yang terkenal
kecantikannya tersebut. Dengan kalimat tercekat, para pengawal
mengiyakan. Lalu Sultan mengulangi pertanyaannya, kali ini ke arah
Puteri Nafisah. Mendapat pertanyaan tersebut Puteri Nafisah diam saja.
Mendapatkan kondisi tersebut, murkalah Sang Sultan dan seketika itu
Puteri Nafisah di usir keluar dari istana. Maka dengan bergegas Sang
Puteri meninggalkan istana dan kembali kerumahnya.
Mengetahui tipu muslihatnya
berhasil, Puteri dan keluarganya merasa senang tiada terkira. Seiring
dengan perjalanan waktu, mereka pun kemudian hidup tenang dan terlepas
dari niat Sang Sultan. Namun, kondisi ini ternyata tidak berjalan
semulus yang mereka harapkan. Cerita kecantikan Sang Puteri ternyata
masih tetap menjadi buah bibir di kalangan khalayak. Sultan pun
penasaran dan mengutus para penyelidik istana untuk menyelidiki kabar
yang berhembus tersebut. Para penyelidik bekerja secara diam-diam dan
dengan sangat cermat. Setelah melakukan pengamatan beberapa lama, para
penyelidik istana akhirnyamendapatkan fakta yang sebenarnya. Mereka juga
mengetahui tipu muslihat Sang Puteri ketika menghadap Sultan
sebelumnya.
Mendengar laporan dari para
penyelidiknya, Sultan marah bukan kepalang. Diperintahkannya kembali
pengawal untuk menjebut Sang Putri secara paksa. Namun sebelum para
pengawal istana sampai, para pengikut setia Sang Puteri segera
menyampaikan berita tersebut. Mendapati berita itu, Puteri dan
keluarganya sangat terkejut dan sedih bukan kepalang. Mereka berunding,
usaha apa kali ini yang harus mereka lakukan untuk menghindari niat Sang
Sultan. Setelah berunding, akhirnya diputuskan satu-satunya jalan
adalah melarikan diri.
Dengan persiapan seadanya, di
suatu malam, bersama dengan dua orang dayang dan dua orang pengawal,
berangkatlah Puteri Nafisah dengan menggunakan sebuah rejung (perahu)
menuju ke uluhan Sungai Ogan. Berbulan-bulan rombongan Sang Puteri
menyusuri sungai dan lebak, sesekali mereka harus menepi dan bersembunyi
untuk menghindari kejaran para pengawal istana. Akhirnya sampailah
mereka pada sebuah lebak yang cukup luas, yang kelak lebak itu bernama
Lebak Meranjat. Di sebuah teluk yang bernama Teluk Lancang, rejung atau
perahu mereka dihadapkan ke teluk tersebut, dan menyusuri sebuah sungai
(payo) yang arusnya sangat deras. Lalu sampailah mereka di suatu tempat
yang mereka perkirakan cukup aman dan tidak mungkin ditemukan oleh para
pengawal istana.
Kedatangan seorang Puteri beserta
dayang dan pengawalnya cepat tersebar di telinga penduduk sekitar.
Penduduk pun beramai-ramai tinggal dan menetap bersama Sang Puteri.
Untuk menghilangkan jejak, Puteri Nafisah kemudian mengganti namanya
dengan sebutan Puteri Senuro. Tempat bermukim mereka berkembang menjadi
sebuah dusun yang kemudian diberi nama Senuro, sesuai dengan nama Sang
Puteri. Dua dayang dan dua pengawal putri ikut hidup dan menetap disana.
Mereka berjanji akan menyertai dan menjaga puteri hingga akhir
hayatnya.
Ditempat yang baru ini Sang
Puteri menjadi buah bibir para pemuda dan anak-anak orang terpandang di
sekitar wilayah tersebut. Sang Puteri juga mempunyai kepandaian dalam
hal membuat anyaman. Puteri mengajarkan juga kepandaian kepada penduduk
terutama kaum remaja putrinya, terutama anyaman untuk alat-alat memasak
yang digunakan sehari-hari. Puteri juga terkenal dengan keahliannya
dalam membuat anyaman yang tidak tembus oleh air. Sampai akhirnya kabar
kecantikan dan keahliannya ini turut di dengar oleh Sang Sungging.
Sang Sungging begitu terharu
mendengarkan cerita dan pengalaman Putri Nafisah atau Puteri Senuro ini.
Ternyata mereka berdua mengalami peristiwa yang serupa. Dari beberapa
kali pertemuan, keduanya pun sepakat untuk menjalin tali kasih. Keduanya
juga tak segan bercerita mengenai kepandaian masing-masing. Sang
Sungging dalam hal bertukang, memahat, melukis dan membuat kerajinan,
sementara Puteri Senuro dalam hal membuat anyam-anyaman. Sang Sungging
juga mendengar jika Sang Puteri bisa membuat anyaman yang tidak tembus
air.
Suatu hari Sang Sungging ingin
dibuatkan masakan gulai kepada Puteri Senuro. Sang Puteri memenuhi
permintaan itu. Setelah gulai masak, dibuatlah sebuah bakul dengan
tudungnya untuk tempat gulai tersebut dan langsung dikirim kepada Sang
Sungging. Mendapat kiriman Dari Puteri Senuro, Sang Sungging langsung
membuka bakul tersebut dan alangkah herannya Sang Sungging, karena
sedikitpun kua gulai itu tidak menetes keluar. Sang Sungging semakin
percaya dan takjub dengan kepandaian Sang Putrti. Setelah habis gulainya
dimakan lalu bakul tadi dikembalikan kepada Puteri Senuro. Sebagai
balasannya Sang Sungging menyuguh (menyerut) papan dengan umbangnya
(hasil suguhan kayu) hampir 9 meter tanpa terputus-putus. Umbang kayu
ini kemudian dimasukkan ke dalam bakul tersebut dan dikirim kembali ke
Puteri Senuro. Oleh Puteri Senuro umbang tersebut kemudian dianyam
menjadi bakul. Pada perjalanannya, bakul inilah yang kemudian menjadi
wadah hantaran lauk pauk dari Sang Puteri ke Sang Sungging.
Kedua sejoli itu saling berlomba
menunjukkan keahlian masing-masing sembari menjaga tali percintaannya
menuju hari pernikahan. Persiapan demi persiapan pun mereka gencarkan
demi menjelang pelaksanaan pernikahan. Sebelum pernikahan terjadi,
datang beberapa orang pengawal Puteri Senuro menemui Sang Sungging
membawa pesan bahwa Sang Puteri sedang jatuh sakit. Dari hari ke hari
sakitnya bertambah parah dan tidak menunjukkan kesembuhan.
Dalam kondisi sakit parah
tersebut Puteri Senuro tetap memikirkan kelangsungan hidup kaumnya. Dia
masih teringat dengan kisahnya dulu dan tidak mau kaumnya kelak
mengalami nasib serupa. Merasa kondisinya sudah tidak bisa diharapkan
lagi, sebelum meninggal Sang Puteri berdoa dan bersumpah kepada yang
maha kuasa agar kelak anak cucu kaumnya tidak memiliki paras cantik
seperti dirinya, karena kecantikan itu akan membawa kesengsaraan.
Setelah melafazkan sumpah
tersebut akhirnya Puteri Senuro menghembuskan nafasnya yang terakhir.
Puteri wafat dengan meninggalkan empat orang dayang dan dua orang
pengawal yang sangat setia termasuk kekasihnya Sang Sungging. Puteri
lalu dimakamkan ditempat tersebut. Bagi anak cucu kaumnya, Puteri Senuro
atau Pteri Pinang Masak menjadi pelambang kaum wanita yang menjunjung
tinggi martabat. Setelah Sang Puteri meninggal, dayang-dayang dan
pengawalnya bertekad akan tetep berdiam di tempat itu, dan akan mati
berkubur disamping kubur Sang Puteri.
Makam Sang Puteri beserta dayang
dan pengawalnya juga masih bisa dijumpai di desa tersebut. Saya sendiri
sudah pernah berkunjung beberapa tahun yang lalu. Waktu itu dipelataran
makam tersebut masih tergantung beberapa helai pakaian Sang Puteri.
Namun tidak tahu kondisi sekarang, apakah masih demikian atau tidak.
Adapun terhadap sumpah Sang Puteri, Sampai saat ini sumpah tersebut
masih terngiang di telinga penduduk Desa Senuro. Percaya tidak percaya,
jika kita berkunjung ke desa tersebut maka kita akan menemui pemandangan
seolah mencerminkan sumpah dari Sang Puteri. Apakah ini sebuah
kebetulan? atau memang akibat dari sumpah Sang Puteri.
Lalu bagaimana dengan Sang
Sungging sendiri. Dalam sebuah cerita dikisahkan bahwa keahliannya dalam
bertukang termasuk membuat ukiran yang diceritakan oleh penduduk desa
dari mulut ke mulut akhirnya sampai juga di telinga Sultan. Sebelumnya,
Sultan telah menyadari kekeliruannya dalam menilai Sang Sungging.
Setelah mendengarkan penjelasan dari Permaisurinya dan penasehat istana,
Sultan berkesimpulan bahwa tetesan tinta yang membentuk tahi lalat di
paha kiri atas pada lukisan istrinya murni akibat ketidaksengajaan Sang
Sungging.
Sebagai wujud dari penyesalannya
dan sekaligus untuk membuktikan cerita orang tentang keahlian Sang
Sungging, Sultan mengirimkan utusannya. Melalui utusannya ini Sultan
menyampaikan kekeliruannya dalam menilai Sang Sungging dan juga memesan
daun pintu berukir. Singkat cerita, daun pintu tersebut dapat
diselesaikan oleh Sang Sungging persis seperti yang dikehendaki oleh
Sultan. Dari situ Sultan akhirnya benar-benar percaya dengan berita
tersebut.
Lalu Sultan mengirimkan utusannya
kembali, kali ini dalam misi mengajak Sang Sungging untuk kembali ke
Istana. Namun karena Sang Sungging merasa sudah betah dan telah memiliki
ikatan emosional dengan peduduk setempat, ajakan Sultan tersebut ia
tolak dengan penjelasan dan alasan yang halus. Ia tetap pada
pendiriannya untuk tinggal dan membangun bersama penduduk setempat
sampai akhir hayatnya. Setelah meninggal, Sang Sungging akhirnya
dimakamkan di sekitar desa pelariannya.
Sebagaimana disinggung diatas,
dari kedua tokoh ini sangat diyakini memiliki hubungan erat dengan
terbentuknya pola mata pencaharian penduduk lokal. Usang Sungging,
dengan keahliannya sebagai tukang kayu dan pembuat kerajinan dari tangan
telah mewariskan bidang usaha pertukangan/pembuatan rumah panggung
(yang sekarang dikenal dengan rumah knock down)
dan kerajinan tangan seperti perhiasan pengantin (dari kuningan),
pandai besi (pembuatan golok dan pisau dari besi), dan pembuatan
perhiasan dari emas dan perak. Sementara Puteri Pinang Masak mewariskan
bidang usaha anyam-anyaman yang hingga sekarang ditekuni oleh masyarakat
setempat.
Siapa sebenarnya Usang Sang
Sungging (atau oleh penduduk lokal lebih dikenal dengan sebutan Sang
Sungging). Terbetiklah sebuah kisah, di Kesultanan Palembang,
mengabdilah seorang pati bernama Abdul Hamid. Beliau berasal dari
keturunan kerajaan dari Pulau Jawa dan menetap di Kesultanan Palembang.
Beliau terkenal dengan beberapa keahliannya seperti rancang bangun,
melukis, mengukir/memahat bahkan menyiapkan rencana-rencana yang akan
dilakukan oleh Istana. Beliau sangat dekat dan sudah dipercaya layaknya
anggota keluarga oleh Sultan.
Syahdan, pada suatu masa beliau
mendapat mandat dari Sultan untuk membuat lukisan utuh permaisurinya.
Mendapat tugas tersebut, Abdul Hamid menyanggupi dengan senang hati.
Siang dan malam dia melukis permaisuri demi Sultan. Mendekati tahap
akhir pengerjaan lukisan tersebut Sultan mendatangi Abdul Hamid dengan
maksud ingin melihat hasil lukisan yang dibuat olehnya. Sultan kelihatan
senang dan menunjukkan binar muka yang puas atas lukisan yang
dikerjakannya.
Pada malam berikutnya, Abdul
Hamid melanjutkan pekerjaannya melukis permaisuri dengan sangat
hati-hati. Dan…selesai sudah, gumannya tersenyum gembira setelah
menyelesaikan lukisan tersebut. Sambil menatap hasil pekerjaannya, ia
membayangkan wajah kegembiraan Sultan. Lama dia berdiam sampai dia
tertidur sekejap. dan tanpa disadarinya tinta yang digunakannya menetes
ke lukisan yang sudah jadi tersebut.
Keesokan harinya dengan perasaan
bangga, Abdul Hamid menghadap Sultan dan menyerahkan lukisan yang
dibuatnya. Alangkah terkejutnya dia, bukannya pujian yang diterima
tetapi malah caci maki. Melihat lukisan tersebut, Sultan murka dan marah
tanpa bisa terbendungkan. Sultan menghardik Abdul Hamid dengan
pertanyaan yang penuh kecurigaan, dari mana Abdul Hamid tahu kalau di
paha kiri atas (dekat kemaluan) istrinya terdapat tahi lalat sebagaimana
hasil lukisan tersebut. Mendapat hardikan pertanyaan tersebut Abdul
Hamid justru bingung bukan kepalang. Usut punya usut ternyata hasil
tetesan tinta yang tanpa disengaja dan disadari oleh Abdul Hamid waktu
dia mengantuk malam itu jatuh tepat di paha sebelah kiri atas dari
lukisan permaisuri, sehingga menyebabkan Sultan menuduh jika Abdul Hamid
telah berselingkuh dengan istrinya.
Mendapat tuduhan seperti itu,
Abdul Hamid berusaha menjelaskan hal yang sebenarnya. Akan tetapi,
kemarahan Sultan sudah tidak bisa dielakkan lagi. Abdul Hamid pun
diminta meninggalkan istana bahkan diancam akan dihukum gantung.
Mendapati situasi yang tidak menguntungkan seperti itu, Abdul Hamid
beserta hulu balangnya bergegas melarikan diri dengan menggunakan
perahu. Tanpa arah tujuan yang jelas mereka terus menyusuri sungai
menuju pedalaman demi menghindari kejaran tentara Sultan.
Berbulan-bulan
mereka mengayuh perahu. Dari Sungai Ogan menyusuri sebuah lebak yang
kemudian dikenal dengan nama Lebak Meranjat. Merapatlah mereka di sebuah
hutan belantara seberang Tanjung Batu yang akhirnya menetap, berdiam
diri, bergaul di daerah tersebut sembari mengajarkan keahliannya dalam
hal bertukang, memahat, membuat perhiasan, hingga menyebarkan ajaran
agama Islam serta turut serta merancang puncak Masjid Al-Falah Tanjung
Batu yang sekarang masih kokoh berdiri di Kampung Tiga Tanjung Batu (Mmm…
saya jadi teringat, ketika sekitar awal tahun 1991 bersama seorang
teman diminta untuk mendisain ulang tulisan kaligrafi di pintu masuk
sisi kiri dari Masjid tersebut. Masjid ini memang sudah cukup tua, tapi
masih berdiri kokoh. Jika tidak salah ingat, masjid ini didirikan
sekitar abad ke-13)
Makam KH Abdul Hamid alias Usang Sungging di Desa Tanjung Baru Petai Tanjung Batu Kab Ogan Ilir |
Karena keahlian dan
kepandaiannya, kian hari keberadaan Abdul Hamid dan pengikutnya semakin
mendapat tempat dihati penduduk. Karena berbagai keahliannya ini
terutama sekali keahliannya sebagai tukang kayu dan tukang pahat, maka
oleh penduduk setempat beliau diberi gelar Usang Sang Sungging (Sang
Sungging).
Selang beberapa waktu beliau
tinggal di seberang Tanjung Batu, terdengarlah olehnya bahwa ada seorang
puteri cantik yang tinggal di hulu sungai dan menetap di sebuah dusun
bernama Senuro. Mendengar kabar ini, Sang Sungging lalu mengirim utusan
untuk mengadakan silaturahmi dengan Puteri tersebut. Sepulangnya dari
tempat Sang Puteri, para utusannya membawa kabar baik bahwa maksud dan
tujuan mereka diterima dengan baik dan tangan terbuka oleh Puteri.
Utusannya juga bercerita bahwa Sang Puteri senang mengajarkan kepada
penduduk setempat bagaimana cara mengerjakan kerajinan menganyam,
membuat bakul dari kulit bambu dan membuat kerajinan lainnya.
Mendengar berita tersebut, Sang
Sungging pun tidak dapat menyembunyikan kegembiraannya dan memutuskan
untuk segera bertemu Sang Puteri. Setelah kedua insan tersebut berjumpa,
diketahuilah bahwa Puteri tersebut bernama Nafisah. Konon karena
kecantikan rupanya dan kulitnya agak kemerah-merahan seperti buah Pinang
Masak, maka oleh penduduk setempat ia dijuluki Puteri Pinang Masak.
Lalu siapa dan darimanakah asal usul Puteri Senuro atau Puteri Pinang
Masak?
Dari sejarahnya, Puteri Nafisah
atau Puteri Senuro berasal dari daerah Banten, Jawa Barat dan sebelum
sampai ke Desa Senuro bermukim di Empat Ulu Laut tepian Sungai Musi.
Berita bermukimnya seorang puteri di ulu laut Palembang yang
kecantikannya tiada tara serta tandingannya di seluruh kerajaan
Palembang tersebar luas dikalangan anak pembesar kerajaan, serta menjadi
pembicaraan hangat para pemuda di seluruh negeri, sehingga banyak yang
berlomba ingin mendapatkannya. Berita ini didengar juga oleh Sultan
Palembang sehingga timbullah hasrat Sultan untuk membuktikan kebenaran
dari cerita tersebut dan melihat dari dekat kecantikan Sang Puteri. Jika
memang benar, muncul hasratnya untuk menjadikan Sang Puteri sebagai
gundik, penambah gundik yang telah ada di istana.
Sultan langsung mengutus beberapa
pengawal istana untuk menjemput puteri dan membawanya ke istana.
Sebelum para pengawal datang, puteri rupanya sudah lebih dulu
mengetahuinya. Puteri sangat bersedih hati, berusaha dan berikhtiar
bagaimana caranya menghindari hal tersebut. Bahkan akhirnya Puteri
bersumpah lebih baik mati daripada menjadi gundik Sultan. Namun puteri
juga sadar bahwa untuk menghindari kekuasaan Sultan dan para pengawalnya
adalah suatu upaya yang tidak mungkin.
Puteri dan keluarganya lalu
mencari cara bagaimana mengelabui para pengawal istana yang hendak
menjemputnya. Akhirnya munculnya tipu muslihat untuk mengelabui mereka.
Sebelum para pengawal istana tiba, Puteri merebus jantung pisang.
Setelah dingin, air rebusan jantung pisang itu lalu dibuat mandi oleh
Puteri, akibatnya badan Puteri menjadi hitam pekat, kotor dan kelihatan
menjijikankan dan kemolekannya menjadi hilang.
Ketika
para Pengawal Sultan sampai dirumah Puteri Nafisah, mereka sangat
terkejut dengan pemandangan ditemui. Mereka menjadi ragu apakah benar
orang yang berdiri dihadapan mereka adalah Puteri Nafisah yang
kecantikannya menggemparkan seluruh negeri itu. Timbul keragu-raguan di
hati mereka untuk membawa Puteri, namun karena ini adalah perintah
Sultan dan tidak boleh dilanggar, maka akhirnya mereka membawa juga
Puteri Nafisah ke istana untuk dipersembahkan kehadapan Sultan.
Kubah di masjid Al-Falah asli buatan tangan Usang Sungging di atas masjid |
Sesampai di istana mereka
langsung menghadap Sultan berikut Sang Puteri. Begitu melihat sosok yang
berdiri dihadapannya, Sultan bertanya kepada para pengawalnya, apakah
benar yang mereka bawa ini adalah Puteri Nafisah yang terkenal
kecantikannya tersebut. Dengan kalimat tercekat, para pengawal
mengiyakan. Lalu Sultan mengulangi pertanyaannya, kali ini ke arah
Puteri Nafisah. Mendapat pertanyaan tersebut Puteri Nafisah diam saja.
Mendapatkan kondisi tersebut, murkalah Sang Sultan dan seketika itu
Puteri Nafisah di usir keluar dari istana. Maka dengan bergegas Sang
Puteri meninggalkan istana dan kembali kerumahnya.
Mengetahui tipu muslihatnya
berhasil, Puteri dan keluarganya merasa senang tiada terkira. Seiring
dengan perjalanan waktu, mereka pun kemudian hidup tenang dan terlepas
dari niat Sang Sultan. Namun, kondisi ini ternyata tidak berjalan
semulus yang mereka harapkan. Cerita kecantikan Sang Puteri ternyata
masih tetap menjadi buah bibir di kalangan khalayak. Sultan pun
penasaran dan mengutus para penyelidik istana untuk menyelidiki kabar
yang berhembus tersebut. Para penyelidik bekerja secara diam-diam dan
dengan sangat cermat. Setelah melakukan pengamatan beberapa lama, para
penyelidik istana akhirnyamendapatkan fakta yang sebenarnya. Mereka juga
mengetahui tipu muslihat Sang Puteri ketika menghadap Sultan
sebelumnya.
Mendengar laporan dari para
penyelidiknya, Sultan marah bukan kepalang. Diperintahkannya kembali
pengawal untuk menjebut Sang Putri secara paksa. Namun sebelum para
pengawal istana sampai, para pengikut setia Sang Puteri segera
menyampaikan berita tersebut. Mendapati berita itu, Puteri dan
keluarganya sangat terkejut dan sedih bukan kepalang. Mereka berunding,
usaha apa kali ini yang harus mereka lakukan untuk menghindari niat Sang
Sultan. Setelah berunding, akhirnya diputuskan satu-satunya jalan
adalah melarikan diri.
Dengan persiapan seadanya, di
suatu malam, bersama dengan dua orang dayang dan dua orang pengawal,
berangkatlah Puteri Nafisah dengan menggunakan sebuah rejung (perahu)
menuju ke uluhan Sungai Ogan. Berbulan-bulan rombongan Sang Puteri
menyusuri sungai dan lebak, sesekali mereka harus menepi dan bersembunyi
untuk menghindari kejaran para pengawal istana. Akhirnya sampailah
mereka pada sebuah lebak yang cukup luas, yang kelak lebak itu bernama
Lebak Meranjat. Di sebuah teluk yang bernama Teluk Lancang, rejung atau
perahu mereka dihadapkan ke teluk tersebut, dan menyusuri sebuah sungai
(payo) yang arusnya sangat deras. Lalu sampailah mereka di suatu tempat
yang mereka perkirakan cukup aman dan tidak mungkin ditemukan oleh para
pengawal istana.
Kedatangan seorang Puteri beserta
dayang dan pengawalnya cepat tersebar di telinga penduduk sekitar.
Penduduk pun beramai-ramai tinggal dan menetap bersama Sang Puteri.
Untuk menghilangkan jejak, Puteri Nafisah kemudian mengganti namanya
dengan sebutan Puteri Senuro. Tempat bermukim mereka berkembang menjadi
sebuah dusun yang kemudian diberi nama Senuro, sesuai dengan nama Sang
Puteri. Dua dayang dan dua pengawal putri ikut hidup dan menetap disana.
Mereka berjanji akan menyertai dan menjaga puteri hingga akhir
hayatnya.
Ditempat yang baru ini Sang
Puteri menjadi buah bibir para pemuda dan anak-anak orang terpandang di
sekitar wilayah tersebut. Sang Puteri juga mempunyai kepandaian dalam
hal membuat anyaman. Puteri mengajarkan juga kepandaian kepada penduduk
terutama kaum remaja putrinya, terutama anyaman untuk alat-alat memasak
yang digunakan sehari-hari. Puteri juga terkenal dengan keahliannya
dalam membuat anyaman yang tidak tembus oleh air. Sampai akhirnya kabar
kecantikan dan keahliannya ini turut di dengar oleh Sang Sungging.
Sang Sungging begitu terharu
mendengarkan cerita dan pengalaman Putri Nafisah atau Puteri Senuro ini.
Ternyata mereka berdua mengalami peristiwa yang serupa. Dari beberapa
kali pertemuan, keduanya pun sepakat untuk menjalin tali kasih. Keduanya
juga tak segan bercerita mengenai kepandaian masing-masing. Sang
Sungging dalam hal bertukang, memahat, melukis dan membuat kerajinan,
sementara Puteri Senuro dalam hal membuat anyam-anyaman. Sang Sungging
juga mendengar jika Sang Puteri bisa membuat anyaman yang tidak tembus
air.
Suatu hari Sang Sungging ingin
dibuatkan masakan gulai kepada Puteri Senuro. Sang Puteri memenuhi
permintaan itu. Setelah gulai masak, dibuatlah sebuah bakul dengan
tudungnya untuk tempat gulai tersebut dan langsung dikirim kepada Sang
Sungging. Mendapat kiriman Dari Puteri Senuro, Sang Sungging langsung
membuka bakul tersebut dan alangkah herannya Sang Sungging, karena
sedikitpun kua gulai itu tidak menetes keluar. Sang Sungging semakin
percaya dan takjub dengan kepandaian Sang Putrti. Setelah habis gulainya
dimakan lalu bakul tadi dikembalikan kepada Puteri Senuro. Sebagai
balasannya Sang Sungging menyuguh (menyerut) papan dengan umbangnya
(hasil suguhan kayu) hampir 9 meter tanpa terputus-putus. Umbang kayu
ini kemudian dimasukkan ke dalam bakul tersebut dan dikirim kembali ke
Puteri Senuro. Oleh Puteri Senuro umbang tersebut kemudian dianyam
menjadi bakul. Pada perjalanannya, bakul inilah yang kemudian menjadi
wadah hantaran lauk pauk dari Sang Puteri ke Sang Sungging.
Kedua sejoli itu saling berlomba
menunjukkan keahlian masing-masing sembari menjaga tali percintaannya
menuju hari pernikahan. Persiapan demi persiapan pun mereka gencarkan
demi menjelang pelaksanaan pernikahan. Sebelum pernikahan terjadi,
datang beberapa orang pengawal Puteri Senuro menemui Sang Sungging
membawa pesan bahwa Sang Puteri sedang jatuh sakit. Dari hari ke hari
sakitnya bertambah parah dan tidak menunjukkan kesembuhan.
Dalam kondisi sakit parah
tersebut Puteri Senuro tetap memikirkan kelangsungan hidup kaumnya. Dia
masih teringat dengan kisahnya dulu dan tidak mau kaumnya kelak
mengalami nasib serupa. Merasa kondisinya sudah tidak bisa diharapkan
lagi, sebelum meninggal Sang Puteri berdoa dan bersumpah kepada yang
maha kuasa agar kelak anak cucu kaumnya tidak memiliki paras cantik
seperti dirinya, karena kecantikan itu akan membawa kesengsaraan.
Setelah melafazkan sumpah
tersebut akhirnya Puteri Senuro menghembuskan nafasnya yang terakhir.
Puteri wafat dengan meninggalkan empat orang dayang dan dua orang
pengawal yang sangat setia termasuk kekasihnya Sang Sungging. Puteri
lalu dimakamkan ditempat tersebut. Bagi anak cucu kaumnya, Puteri Senuro
atau Pteri Pinang Masak menjadi pelambang kaum wanita yang menjunjung
tinggi martabat. Setelah Sang Puteri meninggal, dayang-dayang dan
pengawalnya bertekad akan tetep berdiam di tempat itu, dan akan mati
berkubur disamping kubur Sang Puteri.
Makam Sang Puteri beserta dayang
dan pengawalnya juga masih bisa dijumpai di desa tersebut. Saya sendiri
sudah pernah berkunjung beberapa tahun yang lalu. Waktu itu dipelataran
makam tersebut masih tergantung beberapa helai pakaian Sang Puteri.
Namun tidak tahu kondisi sekarang, apakah masih demikian atau tidak.
Adapun terhadap sumpah Sang Puteri, Sampai saat ini sumpah tersebut
masih terngiang di telinga penduduk Desa Senuro. Percaya tidak percaya,
jika kita berkunjung ke desa tersebut maka kita akan menemui pemandangan
seolah mencerminkan sumpah dari Sang Puteri. Apakah ini sebuah
kebetulan? atau memang akibat dari sumpah Sang Puteri.
Lalu bagaimana dengan Sang
Sungging sendiri. Dalam sebuah cerita dikisahkan bahwa keahliannya dalam
bertukang termasuk membuat ukiran yang diceritakan oleh penduduk desa
dari mulut ke mulut akhirnya sampai juga di telinga Sultan. Sebelumnya,
Sultan telah menyadari kekeliruannya dalam menilai Sang Sungging.
Setelah mendengarkan penjelasan dari Permaisurinya dan penasehat istana,
Sultan berkesimpulan bahwa tetesan tinta yang membentuk tahi lalat di
paha kiri atas pada lukisan istrinya murni akibat ketidaksengajaan Sang
Sungging.
Sebagai wujud dari penyesalannya
dan sekaligus untuk membuktikan cerita orang tentang keahlian Sang
Sungging, Sultan mengirimkan utusannya. Melalui utusannya ini Sultan
menyampaikan kekeliruannya dalam menilai Sang Sungging dan juga memesan
daun pintu berukir. Singkat cerita, daun pintu tersebut dapat
diselesaikan oleh Sang Sungging persis seperti yang dikehendaki oleh
Sultan. Dari situ Sultan akhirnya benar-benar percaya dengan berita
tersebut.
Lalu Sultan mengirimkan utusannya
kembali, kali ini dalam misi mengajak Sang Sungging untuk kembali ke
Istana. Namun karena Sang Sungging merasa sudah betah dan telah memiliki
ikatan emosional dengan peduduk setempat, ajakan Sultan tersebut ia
tolak dengan penjelasan dan alasan yang halus. Ia tetap pada
pendiriannya untuk tinggal dan membangun bersama penduduk setempat
sampai akhir hayatnya. Setelah meninggal, Sang Sungging akhirnya
dimakamkan di sekitar desa pelariannya.
Sebagaimana disinggung diatas,
dari kedua tokoh ini sangat diyakini memiliki hubungan erat dengan
terbentuknya pola mata pencaharian penduduk lokal. Usang Sungging,
dengan keahliannya sebagai tukang kayu dan pembuat kerajinan dari tangan
telah mewariskan bidang usaha pertukangan/pembuatan rumah panggung
(yang sekarang dikenal dengan rumah knock down)
dan kerajinan tangan seperti perhiasan pengantin (dari kuningan),
pandai besi (pembuatan golok dan pisau dari besi), dan pembuatan
perhiasan dari emas dan perak. Sementara Puteri Pinang Masak mewariskan
bidang usaha anyam-anyaman yang hingga sekarang ditekuni oleh masyarakat
setempat.
PARANG BETUAH : TANJUNG BATU OGAN ILIR
![]() |
Parang Betuah |
PARANG BETUAH adalah
cerita rakyat yang berasal dari Desa Tanjung Baru Burai, Kecamatan
Indralaya Utara (dahulu masuk wilayah Kecamatan Tanjung Batu Kabupaten
Ogan Ilir). Kisah ini menceritakan tentang kesaktian sebuah parang yang
dibuat oleh seorang pandai besi yang berasal dari Pulau Jawa. Orang
tersebut bernama Puyang Sampurayo.
Alkisah,
pada masa dahulu, di wilayah sekitar Tanjung Batu banyak perampok.
Rakyat merasa tidak nyaman dengan ulah para perampok yang kian
merajalela, baik siang maupun malam, baik di perairan sungai maupun di
daratan. Sampai kemudian datang seorang pandai besi yang konon berasal
dari tanah Jawa. Orang yang kemudian dikenal dengan nama Puyang Sampurayo ini
ternyata memiliki ilmu kanuragan yang tinggi di samping memiliki
keahlian membuat alat-alat pertanian, khususnya senjata tajam
(parang/golok).
Menyaksikan
keganasan para perampok yang sering mengganggu penduduk itu membuat
Puyang Sampurayo gerah. Dengan dibantu beberapa penduduk ia pun mencoba
melawan para perampok yang datang ke kampung. Sampai akhirnya tak satu
pun perampok yang lolos dari cengkramannya. Para perampok yang menyadari
kekeliruannya dan menyerah dimaafkan dan bahkan ada yang tinggal di
desa tersebut. Sementara mereka yang terus melawan terpaksa juga dilawan
dengan kekerasan.
Lama kelamaan para begundal yang tersisa
pun ketakutan setelah mendengar banyak teman-teman seprofesinya yang
ditangkap maupun yang mati di tangan Puyang Sampurayo. Akhirnya mereka pun ada yang menyerahkan diri secara baik-baik dan ada pula yang justru menjauh menghindari desa sekitar itu.
Kabar
tentang kegagahberanian Puyang Sampurayo cepat menyebar ke mana-mana.
Bahkan sampai pula ke telinga penguasa di daerah itu, yaitu Raja Usang Gobang. Usang Gobang merasa iri mendengar kabar kesaktian Puyang Sampurayo.
Terlebih rakyat pun sangat banyak yang simpatik terhadap budi baik
Puyang dari tanah Jawa itu. Karena di samping ia memiliki ilmu beladiri
yang hebat, Puyang juga dikenal sebagai orang yang rendah diri dan suka
menolong.
Di sisi lain, sebenarnya rakyat sendiri banyak yang kurang simpatik dengan Raja Usang Gobang. Sebab ia dikenal rakyat sebagai raja yang sombong dan congkak. Bahkan sering berlaku sewenang-wenang terhadap rakyat.
Karena
sikap rakyat yang banyak simpatik terhadap Puyang Sampurayo inilah Raja
Usang Gobang merasa cemburu dan iri. Ia tidak rela diperlakukan seperti
itu oleh rakyatnya. Maka ia pun memutuskan utntuk membuat suatu
perhitungan terhadap Puyang Sampurayo. Dibuatnya rencana khusus untuk
menjebak atau melenyapkan Sang Puyang.
Suatu
hari Raja Usang Gobang memerintahkan beberapa orang pasukannya pergi ke
rumah Puyang Sampurayo. Ia akan memerintahkan Puyang membuat sebuah
parang bertuah yang diperkirakan tidak akan mampu dibuat oleh Mpu pandai
besi itu.
“Sampaikan
kepada Puyang Sampurayo bahwa aku minta dibuatkan sebuah parang sakti
dalam satu minggu ini. Beritahukan sama dia, bahwa sebagai bukti
kesaktian parang itu, parang itu tidak akan mampu diangkat oleh tujuh
orang yang berilmu tinggi sekalipun, selain olehku.” perintah Usang
Gobang dengan nada tinggi. Ia yakin, Puyang Sampurayo tidak akan mampu
memenuhi permintaannya itu.
“Baik, Paduka Raja. Apa ada perintah lain, Paduka?” Tanya seorang prajurit yang hendak diutus.
“Kalau dia tidak sanggup, maka kepalanyalah yang akan menjadi taruhannya! Ingat, hanya satu minggu!” tandas Usang Gobang.
Prajurit
yang diutus itu pun bergegas undur diri setelah memberi hormat. Ia dan
beberapa kawannya langsung menuju ke rumah Puyang Sampurayo. Saat itu,
kebetulah Sang Puyang berada di rumahnya. Ia tengah membuat beberapa
parang bersama beberapa anak buahnya. Di desa tersebut, parang buatan
Puyang sudah sangat dikenal baik mutunya .
Setelah
dipersilakan masuk ke dalam rumah oleh Puyang Sampurayo, prajurit itu
pun menyampaikan maksud kedatangannya seperti halnya yang diperintahkan
Raja Usang Gobang.
“Maaf Puyang, kami hanya menyampaikan perintah!” ucap seorang prajurit setelah ia menyampaikan pesan rajanya.
“Aku
maklum dengan kalian. Tapi rasanya, permintaan Raja Usang Gobang itu
berat sekali. Sedangkan untuk membuat parang biasa saja kami memerlukan
waktu beberapa hari.” ucap Puyang Sampurayo mencoba tenang. Tetapi walau
bagaimanapun, ia tidak bisa menolak permintaan Raja Usang Gobang. Sebab
alternatifnya, kepalanyalah yang akan jadi taruhan! “Sampaikan pada
Paduka, aku akan berusaha semampuku.” lanjut Puyang kemudian.
Setelah
mendengar keputusan Puyang Sampurayo, para prajurit itu pun kembali ke
istana. Mereka akan mengabarkan kepada rajanya apa-apa yang telah
disampaikan pandai besi yang dikenal sakti itu.
“Puyang Sampurayo menyanggupinya, Paduka, meski kelihatannya beliau sangat berat hati.” lapor seorang prajurit.
“Bagus.
Kalau begitu, kita tunggu saja dalam seminggu ini. Pas pada hari
ketujuh aku akan datang mengambilnya, atau pandai besi itu disuruh
menyerahkan kepalanya!” Raja usang Gobang tersenyum puas. Ia yakin,
Puyang Sampurayo tidak akan berhasil membuat parang sakti seperti yang
dikehendakinya.
Sementara itu, di rumahnya, Puyang
Sampurayo berpikir keras untuk memenuhi permintaan Raja Usang Gobang. Ia
merasa tidak mengerti dan sangat bingung untuk memenuhi permintaan
Usang Gobang yang dirasakan aneh dan mengada-ada itu.
Sebagai
orang yang sudah sarat dengan pengalaman, Puyang Sampurayo bermenung
sejenak sambil memohon pada Allah SWT agar diberi petunjuk. Akhirnya,
setelah lama berpikir,
ia mendapat akal untuk membuat sebuah parang yang berat dan besar.
Parang itu akan dibuatnya dari besi seberat dua pikul (dua kuintal).
Mulai
hari itu juga, dibantu beberapa anak buahnya, Puyang Sampurayo segera
mencairkan segala besi yang ada. Pesanan dari penduduk pun terpaksa ia
hentikan.
Kabar
permintaan Usang Gobang terhadap Puyang segera tersiar ke seluruh
masyarakat. Mereka banyak yang prihatin, namun tidak bisa membantu
secara langsung. Mereka hanya bisa berdoa agar Sang Puyang dapat
memenuhi permintaan dari raja mereka yang dikenal congkak itu.
Setiap
hari, siang dan malam, Puyang Sampurayo terus bekerja untuk membuat
parang tersebut. Tidak lupa ia pun berdoa kepada Sang Maha Pencipta agar
parang itu pun diberi tuah. Hingga pada akhirnya sampailah hari ketujuh
seperti yang dijanjikan. Usang Gobang, yang tentu saja bersama para
prajuritnya, akan datang mengambil parang itu atau kepalanyalah yang
akan dipenggal Sang Raja.
Sepanjang
jalan, Usang Gobang selalu tersenyum dan tertawa penuh kemenangan. Ia
mengira Puyang Sampurayo tidak bisa melaksanakan perintahnya untuk
membuat sebuah parang sakti yang tidak bisa diangkat oleh tujuh orang
prajurit. Ia sengaja datang pagi-pagi untuk membuat kejutan. Atau
setidaknya, ia meyakini bahwa pagi itu parang yang dipesan pasti belum
jadi.
Setelah
tiba di rumah Puyang Sampurayo, Raja Usang Gobang tercengang melihat
parang panjang dan besar yang sudah disiapkan, terpasang melintang pada
beberapa cagak kayu. Ia melihat parang itu sudah jadi dan tampak
sempurna.
“Maaf
Paduka Raja, sebenarnya parang ini belum sempurna benar. Hamba baru
selesai menyepuhnya sehingga parang ini masih sangat panas.” ucap Puyang
Sampurayo.
Raja
Usang Gobang tidak menyahut. Ia langsung memerintahkan kepada tujuh
anak buahnya untuk mengangkat parang tersebut sebagai uji coba. Namun
ternyata ketujuh anak buahnya tak mampu mengangkat parang sakti yang
berat dan sangat panas itu. Tangan dan pundak mereka melepuh. Mereka
menjerit kesakitan.
Darah
Usang Gobang mendesir. Ternyata dugaannya meleset jauh. Hatinya
mengumpat dan mencaci maki Puyang Sampurayo. Meski ia sangat marah namun
ia mencoba menahannya. Dengan kesombongannya ia menyuruh anak buahnya
menyingkir. Usang Gobang mendekat untuk mengangkat parang tersebut.
“Enyahlah kalian! Mengangkat parang seperti ini saja kalian tidak mampu!” hardik Usang Gobang.
Sebenanrnya
Usang Gobang pun sangat menyadari bahwa parang tersebut berat dan
panas. Ia mulai ragu, jangan-jangan ilmu yang dimilikinya pun tidak akan
mampu untuk mengangkat parang tersebut. Tetapi karena rasa gengsinya
dan amarahnya sudah meluap, ia tetap maju untuk mengangkat parang
tersebut.
Begitu
sudah di dekat parang, Usang Gobang membaca beberapa mantra. Lalu kedua
tangannya menyentuh parang itu untuk diangkat. Ia tersenyum sejenak
karena mantranya dianggap ampuh. Namun sesaat kemudian bibirnya mulai
meringis, matanya mulai merah dan berair. Demikian juga keringat di
keningnya mulai berjatuhan. Ia sungguh tak menyangka bahwa parang
tersebut memang demikian panas dan berat. Namun ia tetap memaksakan
diri. Kedua tangannya mulai melepuh dan terbakar. Ia terus mencoba
menyangga dengan pundaknya. Pundaknya itu pun melepuh dan terbakar.
Namun Raja yang sombong itu tampaknya tidak mau menyerah. Ia merasa malu
kalau harus menyerah begitu saja. Akhirnya Raja Usang Gobang mati
dengan tubuhnya yang hangus, terbakar oleh hawa panas parang bertuah
buatan Puyang sampurayo.
Konon,
sampai sekarang kuburan Puyang Sampurayo masih ada di Desa Tanjung Baru
Burai, Kecamatan Indralaya Utara. Kuburan tersebut dikeramatkan warga
sekitarnya. Sampai sekarang pula, di wilayah tersebut masyarakat Tanjung
Batu banyak yang menjadi pandai besi..
LEGENDA RAKYAT : PUTRI PINANG MASAK (dalam bahasa Meranjat)
![]() |
Makam Putri Pinang Masak di Desa Senuro Kec Tanjung Batu Kab Ogan Ilir |
Konon
nurut cerito, kurang lebeh 350 taun nyang duluni, tesebutlah sorang
putri nyang benamo Napisah dan begelar Putri Pinang Masak. Putri Pinang
Masak tu beasal dari Banten, Jawo Barat. Diok bediam di Empat Ulu Laot,
Plembang. Pado maso itu Plembang dipimpin oleh urang yang namonyo Sunan.
Sunan iko tekenal nare kesenangan ngompolkan gadis-gadis belagak, pati
nak dijadikan dayang di istanonyo.
Suatu
ketiko tesebar sekok berito bahwo di seberang Ulu Plembang ado sorang
betino nyang benamo Putri pinang Masak. Betino iko belagak nian dan.
taknare bandingannyo di Kerajoan Plembang. Berito Kebelagak-an Putri
Pinang Masak akhirnyo sampai ketelingo Sunan Plembang. mako timbulah
niat Sunan nak muktikan kebenaran cerito tu dan nak mliat secaro
langsung nian kebelagak-an putri tu dari parak, sudah tu mun ado nian
cerito tu, Putri Pinang Masak nak dijadikenyo dayang di istano Sunan.
Putri
Pinang Masak nengar kabar bahwo diok di cari Sunan, dan nak dibawo ke
istano nak dijadikan dayang tu sedeh laju ati Putri tu, laju Putri
betekad lebeh baek mati dari pado jadi dayang Sunan. Tapi nak ngelakkan
surean Sunan tu tak kenado, kareno sunan tu nare kekuasaan nyang sangat
kuat, dan jugo nare Hulubalang dengan Pengawal nyang sangat gagah.
Sedangkan Putri sorang nyang tak bedayo.
Sang
Putri dan keluargonyo bepiker dan merenung bakmano caronyo keluar dari
balak iko. akhirnyo tebayang sekok caro nak ngiukkan wargo istano.
Sebelum jemputan dari istano datang, Sang Putri merebus jantung pisang.
Apan aer rebusan la bangso dingin, laju Sang Putri mandi aer itu tu.
Akibat mandi aer rebusan jantung pisang iko badan dengan rai Putri
Pinang Masak jadi itam pekat, dan kebelagak-annyo ilang. Bukan itu bae,
badan Putri tliat cak kotor dan siapo be nyang meliatnyo raso cemek
nian.
Dang
keadaan Putri burek bak ikolah, tibo-tibo datanglah pengawal istano nak
nyemput Sang Putri. Pengawal pun tekanjat, sudah tu ragu apo iko
urangnyo Putri Pinang Masak nyang blagak yang meramekan Negeri tu, apo
bukan. Tapi kareno iko di seruh perintoh Rajo nyang tak acak di langgar,
akhirnyo Putri di bawo tula ke istano. Sampai di depan Sunan, Sunan
tekanjat nian mliat Putri yang di beritokan tu ternyato Putri tu jahat,
burek, laju di user Sunan Putri tu. Sang Putri pun begopo-gopo
ninggalkan istano dan balek kerumahnyo. Putri ragap nian kareno
kepintarannyo berasel.
Alkisah nurut ceritonyo, Putri Pinang Masak tak suda-suda dirundung
balak. Lepas dari sekok kesusahan, disusel pulo ole kesusahan nyang
lain. Bak uji pepatah tu “Malang tak acak ditolak, mujur tak acak
diraeh”. Ruponyo berito kebelagak-an Putri Pinang Masak tu maseh bae
tesebar di galo kerajoan, bahkan banyak bujang-bujang terutamo anak Rajo
nyang tegilo-gilo. Masalah iko akhirnyo sampai pulo ketelingo Sunan.
Sunan meraso tekiuk dan timbel niat di atinyo pengen nian meliat rupo
Putri nyang sebenarnyo.
Akhirnyo
para penyelidik pacak muktikan bahwo berito nyang tesebar tu benar
nian. Bahwo Putri Pinang Masak tu belagak nian dan taknare bandingan di
segalo negeri. Diceritokan ole Pengawal bahwo ketiko diadokkan ngari
Sunan berapo ari nyang lewat tu, Putri Pinang Masak ternyato sengajo
ngoba rainyo kareno diok tak endak dijadikan Dayang di istano. Sunan
meraso tekiuk, laju merentakan Hulubalang dan Pengawal agar makso
nangkap Putri Pinang Masak, sudah tu mawonyo ke istano. Berito
penangkapan iko sampai pulo ketelingo Sang Putri. Sedeh nian ati Sang
Putri tak pacak lagi ngatokenyo. Sambil besedeh, Putri marak-i kanconyo
nyang setio, nak berunding bakmano caron dan usahanyo agar telepas dari
tangkapan Sunan.
Sudah
berunding tegal, mako diambeklah sekok keputusan, iyola melarikan diri.
Pado suatu malam, bebarangan dengan empat kanconyo nyang setio dang duo
Pengawal, urang bitu pegi ninggalkan ruma. Urang bitu ninggalkan ruma
dengan perahu nuju ke Ulu sungai Ogan. Bebulan-bulan beperahu, urang
bitu sampai di lebak, nyang namonyo lebak Meranjat. sudah tu beperahu
pulo melewati teluk Lancang, sudah tu melewti aer nyang deras nian.
Sambel beperahu itulah dicari tempat yang aman dan tak kenado ditemukan
oleh pengawal istano. Laju akhirnyo Putri dengan kanco-kanconyo tu diam
di dusun yang namonyo Senuro. Namo iko diambek dari namo Sang Putri
kareno jak diam di bitu Sang Putri ngoba namonyo dengan Putri Senuro.
Di
tempat nyang baru iko, Sang Putri leman jadi kesenangan bujang-bujang.
Terutamo anak-anak urang gerot Di tempat nyang baru iko jugo Putri
Pinang Masak ngajarkan beberapo kepacak-an dengan gadis-gadis di bitu.
Kepacak-an itu berupo keterampelan nganyam bilah-bilah bule nyang dibuat
untuk alat-alat ruma tango, misalnyo bakel, telindak, dan sebagainyo.
Sampai bak iko ari betino-tino di senuro pacak nganyam. Nurut ceritonyo,
Putri Pinang Masak pacak nganyam bakel nyang tak tembus aer.
Suatu
ari, Putri Pinang Masak sakit. Kian lamo, sakitnyo kian parah. Sang
Putri meraso diok nak mati. Dang terakhir dang gawat tu, Putri Pinang
Masak sempat besumpa atau bedoa. Sumpah tu bebunyi “ Aku mintak dengan
Tuhan agar anak cucengku kagi jangan belagak cak aku, kareno
kebelagak-an tu nak mawo kesengsaroan, pecak nyang ku rasoi”.
Suda
ngucapkan sumpa itu tu, Sang Putri ngembuskan napas nyang terakhir.
Beliau mati ninggalkan empat kanco nyang setio dengan duo Pengawal nyang
lalu setio nyagonyo.Suda Sang Putri mati, kanco-kanco nyang setio dan
jugo pengawalnyo bejanji nak netap diam dibitu, jugo nak mati tak
keberkan di pingger keberan Putri, Kalu kito datang ke keberan Putri
senuro, kito bakal tliat di keberan kanco-kanco, pengawal sang Putri.